Rabu, 31 Maret 2010

Surat Untuk Mbah Hasyim ( KH Hasyim Asy'ari )

MBAH Hasyim (Hadratus Syeikh Hasyim Asy'ari, pendiri Nahdlatul Ulama, Red) ..., NU sebagai ormas Islam terbesar di dunia baru saja merampungkan perhelatan akbar lima tahunan, yaitu muktamar ke-32. Dalam muktamar kali ini, KH Sahal Mahfudz dan KH Said Aqil Siradj terpilih sebagai rais am Syuriah dan ketua umum Tanfidziyah PB NU.


Mbah Hasyim, muktamar NU kali ini berjalan dengan sangat meriah, mewah, dan elite. Berbagai macam acara pendukung diadakan oleh panitia muktamar seperti bazar makanan, bazar pakaian, bahkan juga penampilan seni musik. Macam-macam mobil mewah keluar-masuk dan memadati area muktamar. Para petinggi bangsa seperti menteri, anggota DPR, dan presiden juga menghadiri muktamar. Hampir tidak ditemukan sisi hidup sederhana dan bersahaja sebagaimana keteladanan panjenengan.


Tapi, sangat disayangkan Mbah Hasyim, acara muktamar yang begitu gagap-gempita itu tidak menyediakan kesempatan satu detik pun untuk mengenang dan mengingat jasa-jasa perjuangan Gus Dur yang telah dilakukan untuk NU, negara, dan bangsa. Dalam acara pembukaan muktamar yang dihadiri presiden, contohnya, tidak ada satu pun di antara para pengisi acara yang menyebut nama dan jasa cucu panjenengan itu. Apalagi membacakan surat Al-Fatihah atau doa lain.
                                              KH Hasyim Asy'ari                Gus Dur
Suasana Parpol

Mbah Hasyim, ada beberapa hal dalam muktamar kali ini yang tidak pernah terjadi pada muktamar-muktamar sebelumnya. Salah satunya adalah pemasangan baliho dan spanduk calon-calon ketua umum PB NU. Baliho-baliho dan spanduk (baik yang berukuran besar, sederhana, dan kecil) berjejer rapi di sepanjang jalan menuju area muktamar.

Tidak sedikit peserta muktamar yang mengeluhkan perihal banyaknya baliho dan spanduk tersebut. Mereka sangat menyayangkan itu karena perhelatan muktamar diperlakukan layaknya pemilihan umum, pemilihan kepala daerah, atau pemilihan ketua parpol.

Pun, tidak sedikit peserta muktamar yang menyamakan perhelatan muktamar kali ini dengan acara pemilihan ketua umum partai politik. Selain karena banyaknya spanduk atau baliho seperti di atas, suasana yang hadir di area muktamar dan sekitarnya juga tidak ubahnya dengan suasana menjelang pemilihan ketua umum parpol. Misalnya, persaingan yang sangat panas antara tim sukses, aksi menyerang pihak lawan dengan bermacam selebaran, bahkan juga "kabar" santer politik uang atau risywah (praktik sogok).

Disebut kabar karena praktik politik uang pada umumnya sulit dibuktikan oleh pihak keempat. Hanya mereka yang menyogok, mereka yang disogok, dan Allah yang mengetahui persis praktik haram itu. Selebihnya, politik uang menjadi kabar yang sulit dibuktikan, tapi keadaannya tidak terbantahkan.

Bagi mereka yang mengetahui banyak ilmu agama (tapi tidak mengamalkannya), praktik seperti di atas tentu mudah untuk dibolak-balik (hilah) hingga menjadi praktik yang tidak terlarang, seperti menggunakan alasan sedekah, niat, dan lain-lain. Mereka berhasil menipu orang lain, tapi mereka pasti tidak akan bisa membohongi hati sendiri dan Allah, tentunya.

Peran Civil Society Lumpuh

Mbah Hasyim..., semua kondisi di atas telah melumpuhkan peran NU sebagai civil society. NU hanya tampak akrab dan intensif dalam menghadapi hal-hal yang bersifat politik kekuasaan. Dalam konteks pembelaan terhadap nasib umat, NU cenderung bersikap datar-datar saja.

Suasana di muktamar bisa dijadikan salah satu contoh jelas tentang apa yang telah disampaikan di atas. Persoalan dan perbincangan soal sosok yang akan memimpin NU jauh lebih santer daripada pembahasan tentang nasib dan kemaslahatan umat, terutama kalangan orang-orang lemah dan dilemahkan (mustadh'afin).

Kondisi di atas terjadi karena pelibatan NU dalam perebutan kekuasaan praktis, baik pelibatan yang bersifat langsung maupun tidak langsung. Dalam dua kepemimpinan terakhir, contohnya, NU kerap dilibatkan dalam ajang perebutan kekuasaan praktis, oleh pengurus NU di daerah (PW/PC NU) atau pengurus NU di pusat (PB NU).

Pelibatan NU dalam perebutan kekuasaan praktis yang berlangsung secara cukup masif dan intensif telah menciptakan "alam bawah sadar politik" di kalangan para pelakunya. Alam bawah sadar politik itulah, yang kemudian menjelma secara nyata di momen-momen peralihan kepemimpinan di internal NU sehingga tercipta suasana parpol dalam perhelatan muktamar. Terutama tatkala mereka (yang mengidap alam bawah sadar politik) terlibat langsung dalam suksesi kepemimpinan NU, baik sebagai calon ketua umum, tim sukses, ataupun pihak lain yang terkait.

Lebih dari itu, pelibatan NU dalam perebutan kekuasaan praktis telah merusak tatanan-tradisi yang masih dianggap relevan. Dalam konteks internal NU, contohnya, posisi rais am Syuriah pada umumnya dijabat oleh ulama sepuh yang sangat disegani tanpa harus mencalonkan diri. Bahkan, sampai terjadi fenomena "saling melempar" kepercayaan yang diberikan kepada ulama lain yang dianggap lebih pantas.

Dalam beberapa waktu terakhir, tatanan-tradisi seperti itu mulai mengalami pengikisan dan desakralisasi. Sebagaimana terlihat dalam muktamar kali ini, posisi rais am yang selama ini dikenal sakral juga diperebutkan dengan berbagai macam manuver politik.

Mbah Hasyim, inilah surat pendek yang bisa saya sampaikan terkait dengan perubahan-perubahan radikal yang kini terjadi di lingkungan NU. Sebuah perubahan yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya dan sangat tidak diinginkan. Mbah Hasyim..., mohon doanya agar NU tetap berjalan sesuai dengan cita-cita luhur panjenengan. Semoga kepemimpinan KH Sahal Mahfudz dan KH Said Aqil Siradj mampu "membersihkan" NU dari penyakit-penyakit duniawi seperti itu.

*). Hasibullah Satrawi , warga NU biasa, aktif di Moderate Muslim Society (MMS) Jakarta

0 komentar:

Posting Komentar